Petani Bawang Merah Brebes Terus Merugi
Wednesday, March 28, 2007
Saat ini bawang merah yang telah bertahun-tahun menjadi primadona petani Brebes tinggal memasuki masa-masa suram. Ini karena anjloknya harga sampai pada Rp.2.300-2.500 per kilogram. Bawang lokal kualitas super atau biasa dikenal dengan nama Bima Brebes hanya laku dijual Rp.2.000 per kilogram. Padahal, bawang tersebut memiliki ukuran yang besar dan warna yang cerah seperti halnya bawang impor.
Anjloknya harga ditengarai bukan saja karena kualitas yang menurun, melainkan juga akibat kelebihan pasokan dan masuknya bawang impor yang berkualitas lebih baik ke pasar lokal. Faktor bawang impor dari Filipina, Vietnam, dan Thailand dirasa yang paling memberatkan dan menambah kerugian yang cukup besar setiap kali panen tiba.
Masuknya Indonesia menjadi anggota WTO (World Trade Organization) di tahun 1995, membawa konsekuensi pada berlakunya liberalisasi pasar yang justru kerap lebih banyak merugikan petani dalam negeri karena pada umumnya belum siap masuk dalam pusaran pasar bebas dunia. WTO kadang dipandang sebagai bagian konspirasi negara-negara besar untuk membuka akses pasarnya ke seluruh dunia, terutama negara-negara berkembang. Di forum AFTA (ASEAN Free Trade Area) pun, bargaining position-nya setali tiga uang, maka yang ada saat ini adalah membanjirnya produk pertanian impor ke pasar dalam negeri.
Pemerintah Kabupaten Brebes ternyata lebih tanggap dengan keadaan ini. Pemkab Brebes berencana dengan segera menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Niaga Bawang Merah. Penyusunan Raperda tersebut sangat penting karena bertujuan untuk mengatur perdagangan bawang merah di wilayah Brebes. Sekarang tinggal pemerintah pusat bagaimana menerapkan kebijakan untuk mengatur tata niaga impor, misalnya dengan menyesuaikan musim tanam dan panen petani, ataupun persyaratan impor bawang merah hanya untuk kebutuhan bibit, bukan untuk konsumsi sayur.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments
Post a Comment